Kamis, 21 April 2011

pemberdayaan keuangan mikro

Abstraksi
Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan
memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan
pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha
Kecil dan Mikro (UKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari
masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif.
Meskipun kontribusi UKM dalam PDB semakin besar, namun hambatan
yang dihadapinya besar pula, diantaranya kesulitan mengakses sumbersumber
pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Tulisan ini mencoba untuk menguraikan peranan Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) dalam menunjang kegiatan UKM, walaupun porsinya sebagai
alternatif pembiayaan masih lebih kecil dibandingkan lembaga-lembaga
keuangan formal. Namun, hal ini menarik untuk dikaji sebab perkembangan
LKM ternyata searah dengan perkembangan UKM sehingga dapat
dinyatakan bahwa LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.
Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat dua hal yang layak
direkomendasikan: pertama, memperkuat aspek kelembagaan LKM
sebagaimana yang selama ini telah berjalan pada lembaga-lembaga
keuangan formal yaitu mempercepat pengesahan RUU tentang LKM, dan
kedua, komitmen yang kuat pada pengembangan UKM yang sinergi dengan
LKM. Dan pada akhirnya upaya untuk memutus rantai kemiskinan dapat
dilakukan dengan cara yang produktif.

PENDAHULUAN 
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak terlepas dari
perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM
terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat
dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan
ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.
Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang
diciptakan UMKM dalam tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari
PDB). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 mencapai 42,4 juta, sedangkan
jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini tercatat 79,0 juta pekerja. Pertumbuhan PDB UMKM periode 2000 – 2003 ternyata lebih tinggi daripada total PDB, yang sumbangan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan Usaha Besar.
Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha menengah yang tangguh, seperti yang terjadi saat perkembangan usaha-usaha menengah di Korea Selatan dan Taiwan. Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan.
Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh UMKM khususnya pelaku Usaha Kecil dan Mikro (UKM)3 terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain.
Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga keuangan informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM karena sifatnya yang lebih fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal ini kemudian disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Namun sangat disayangkan, bahwa keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian nasional sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan (termasuk didalamnya BRI unit dan BPR), asuransi, perusahaan pembiayaan. Keberadaan perbankan telah diatur secara jelas dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dengan Bank Indonesia sebagai motor penggeraknya, bahkan terdapat penjaminan oleh pemerintah berupa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang semakin mengukuhkan keberadaan perbankan. Kondisi ini akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan keberadaan LKM yang telah jelas mempunyai kontribusi pada pelaku UKM yang peranannya dalam PDB sangat besar.

Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk transfer atau subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, yang dalam pepatah disebut “jangan berikan umpannya tapi berikanlah kailnya”, sehingga sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.


PERUMUSAN MASALAH
Kondisi tersebut di atas jika berjalan terus, maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Karena pelaku UKM pada dasarnya adalah lapisan masyarakat yang ditinjau dari besaran pendapatan lebih berpotensi mendekati masyarakat miskin, namun mereka masih mempunyai kemauan untuk melakukan usaha produktif. Jika UKM terus mendapat hambatan dalam berusaha - termasuk kesulitan mengaskes sumber-sumber pembiayaan – maka potensi menjadi masyarakat miskin akan menjadi kenyataan.
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat penting upaya untuk menjawab bagaimana memperluas akses-akses pembiayaan bagi para pelaku UKM dan pada saat yang bersamaan peranan LKM terus berkembang sekaligus mampu menjawab kebutuhan UKM walaupun porsinya masih terbatas.

fenomena lembaga keuangan mikro

ABSTRAK
Suatu pengkajian empiris tentang LKM pertanian yang bertujuan untuk mengetahui kinerja
LKM dalam perspektif pembangunan ekonomi pedesaan telah dilakukan di Jawa dan Luar Jawa
pada awal tahun 2007 melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif menggunakan
metode group interview dan individual indepth interview melibatkan pengurus dan pengguna
LKM. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif terhadap LKM contoh yang
dipilih secara sengaja, diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) Keberadaan LKM diakui
masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini
tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional; (b) Secara faktual
pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun keberhasilannya masih bias pada usahausaha
ekonomi non pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas,
hal itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni
kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM; (c) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor
pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital,
kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa
layanan LKM; (d) Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian
diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM,
dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit.

METODOLOGI
Pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan
Ekonomi Nasional, keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu
merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari
kegiatan usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering
dijadikan indikator pembangunan ekonomi pedesaan.
Di dalam praktek usahatani, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong
peningkatan produktivitas dan produksinya. Kelemahan petani justru pada adopsi inovasi
teknologi yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan modal usahatani yang lemah.
Untuk mengatasi kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan
modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun
kelembagaan jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena petani sering tidak
memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk
berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal seperti petani pemodal (pelepas
uang - rentenir), atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber
lain yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional
karena terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi
petani akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan.
Berkenaan dengan hal tersebut, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
pertanian akan menjadi salah satu solusinya. LKM pertanian memiliki peran strategis
sebagai intermediasi dalam aktifitas perekonomian bagi masyarakat tani yang selama ini
tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional.
Di lingkungan masyarakat, telah banyak LKM yang menyediakan skim kredit
dengan pola yang beragam, namun umumnya bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi
usaha-usaha ekonomi non pertanian. Oleh karena itu muncul persoalan: (a) sejauhmanakah
keberadaan LKM di lingkungan masyarakat pedesaan mampu menjalankan perannya
dalam fasilitasi pembiayaan usahatani? (b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
keberlanjutan LKM tersebut dan (c) Bagaimanakah strategi pengembangan LKM ke depan
yang efektif untuk mendukung usahatani?
Makalah bertujuan membahas fenomena LKM dan perspektifnya dalam
pembangunan ekonomi pedesaan dengan fokus pada adopsi inovasi pertanian, serta
3
mengungkap faktor-faktor kritis keberhasilan LKM dan menyusun strategi pengembangan
LKM ke depan untuk mendukung kegiatan usahatani.
Hasil pembahasan akan berguna selain untuk melengkapi wacana LKM yang sudah
ada, juga menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait pembangunan
ekonomi pedesaan ke depan.