Senin, 14 November 2011

kini aku mengerti

Namaku kirana, siswa kelas X SMA yang masih terlalu dini mengenal istilah cinta. Aku mengenal dengan istilah cinta saat duduk di bangku kelas tiga SMP. Belum terlalu paham tentang cinta, sebegitu mudahnya aku mempermainkan cinta saat itu, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan pasanganku. Awal masuk SMA, aku menjalin suatu hubungan dengan kakak kelasku. Aku kelas X, sedangkan dia kelas XII sekali lagi aku hanya bermain-main dengan cinta tanpa serius memikirkan perasaannya yang telah tersakiti karena kelakuanku.
Putus dari dia aku mengenal dengan sesosok lelaki muda, kebetulan dia juga kakak kelasku, tepatnya kelas XI, Riko namanya. Sebelumnya aku benar tidak tertarik sama sekali menjalin hubungan lagi, bosanlah istilahnya, tak ada yang menarik saat ku menjalin hubungan. Awal perkenalan kami juga tidak begitu menarik, dan aku pun tak menganggap Riko sama sekali. Tapi rasa itu langsung berbeda ketika aku pertama kali melihat dirinya.

“Na, itu lo yang namanya Riko” gertak Dani, salah seorang temanku yang ketika itu kami sedang duduk santai didepan kopsis sambil berbincang. Aku langsung menoleh ke arah lelaki muda itu, dan itulah awal aku tahu Riko secara langsung.

Benarkah itu Riko?” tanyaku kepada Dani tanpa memalingkan pandanganku ke arah Riko.
“Iya benar, itu Riko !” Jawab Dani sambil memakan jajan yang baru saja ia beli.

“Gila, Benar-benar gila. Ganteng banget ternyata” gumamku di dalam hati dan masih terpesona melihatnya. Sesampainya di rumah, aku pun tak henti-henti kepikiran wajah si Riko.

“Kenapa ini, aku tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Biasanya aku juga tak pernah seheboh ini” pikirku sangat aneh sambil berkali-kali aku memandangi handphone, berharap ada SMS masuk dari Riko. Sungguh aneh, yang tadinya aku tak tertarik sama sekali, sekarang malah berharap lebih sama Riko.
“Ada SMS !” teriakku. Langsung ku buka SMS itu dan benar, itu SMS dari Riko. Akupun sangat kegirangan. Itulah awal mula aku bisa serius menjalin hubungan dengan pasangan, sungguh berbeda dengan pasangan-pasanganku sebelumnya.

Dan inilah waktu yang aku tunggu, waktu dimana aku dan Riko jalan bareng. Sebelumnya kami memutuskan untuk nonton, tapi berhubung waktu telah terlewatkan, kami akhirnya menuju ke sebuah tempat yang begitu indah. Udara yang begitu sejuk, suasana tenang, burung-burung bernyanyi, rumput hijau menari dan genangan air yang membentang luas adalah sebagian kecil dari pancaran indah tempat ini. Di tempat ini kami saling bercerita tentang kehidupan kami, tak terasa pula sore telah datang menjemput.

“Aku boleh ngomong serius sama adek ?” tanya Riko begitu serius memandangku.

“Boleh kak, silakan !” dengan sedikit gugup aku menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba Riko menggenggam tanganku. “duuh gila, mau ngapain ni anak” gumamku dalam hati.

“Maukah adek jadi pacarku ?”

Seketika perasaanku langsung campur aduk antara senang dan bingung.


“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang kak. Kita juga belum lama kenal” Jawabku menutupi rasa bingung yang sedang bersemayam di otak dan hati.
“Tapi aku sudah menganggapmu jadi pacar dek dari dulu” bujuk Riko seperti mengharapkan jawaban berbeda dariku. Sungguh tak kuasa aku melihat pandangannya, ingin memalingkan pandangan darinya, tapi kepala ini bagai ditahan oleh batu besar.
“Ya sudah, aku mau”
“Benarkah ? Terimakasih adek” Sambut Riko dengan muka kegirangan.
Akhirnya aku telah mengerti indahnya menjalin hubungan waktu bersama Riko. Apakah ini sesuatu yang dinamakan cinta, sesuatu yang dulu selalu aku anggap membosankan dan tidak mempunyai arti sama sekali. Awalnya aku begitu bahagia, aku selalu membanggakannya, tapi tidaklah mudah menjalani hubungan dengan Riko. Banyak kabarburung tentang Riko, entah karena Riko adalah salah seorang anak yang dikenal di sekolah, atau karena dia mempunyai banyak mantan pacar di sekolah, yang pasti kabar itu sungguh tak bersahabat di telingaku saat itu, Banyak kabarburung yang mengatakan bahwa Riko itu playboy, Riko itu anak yang tidak baik, dan sebagainya. Berbagai cara aku lakukan untuk selalu percaya pada Riko, karena aku yakin Riko yang aku kenal bukanlah tipe orang yang seperti itu. Begitu juga dengan Riko, dia menyarankanku untuk tidak percaya kepada kabar burung tentang dirinya.

Selasa, 25 Oktober 2011

CV (curriculum vitae)

Karindita Noverina
Data Pribadi

tempat,tanggal lahir : surabaya, 1 november 1991
jenis kelamin : perempuan
agama : islam
kewarganegaraan : indonesia
alamat : peru.depok maharaja blok c2 no: 16
telepon : (021) 77884814

bidang keahlian : manajer pemasaran
pengalaman kerja : belum ada

national sales manager

* meningkatkan penjualan sebesar 50%
* meningkatkan penjualan perdistributor sebesar 50%
* membuka wilayah pemasaran baru di indonesia

direct sales manager

* meningkatkan penjualan wilayah sejabodetabek
* mengkordinir 250 agen distributor sejabodetabek
* implementasi kursus dan pelatihan mengenai teknik dan strategi menjual yang efektif bagi karyawan baru

hobby : travelling ,, dengerin musik ,, renang

Minggu, 23 Oktober 2011

surat lamaran kerja

jl . nangka raya no. 94
karet setiabudi
jakarta pusat 010726

22 oktober 2011

yth;
bpk. ali mubarok
PT. bakrie electric
Jakarta selatan
Dengan hormat,

Bersama surat ini saya ingin mengajukan diri untuk bergabung dengan PT . bakrie electric, karena latar belakang dan pengalaman saya dalam mengembangkan departemen pemasaran mungkin akan berguna bagi pemasaran ini .
Setiap tahun saya selalu sukses melakukan peningkatan jumlah nasabah baru, mengelolah nasabah yang sudah ada agar tetap menjadi nasabah yang setia.
saya menantikan kesempatan untuk bertemu anda, dimana saya akan menjelaskan potensi dan kemampuan diri saya lebih terperinci dan mendalam .


Hormat saya,

Karindita Noverina

Minggu, 09 Oktober 2011

KONDISI PEREKONOMIAN INDONESIA

Dari berbagai kota yang pernah di kunjungi , pasti pernah terlintas di benak bahwa begitu banyak ketimpangan di negri nan hijau ini . di satu kawasan berderet rumah besar , bagus , arsitektur indah , penghuninya sudah di tambah dengan beberapa pembantu , dan deretan mobil mewah pun ada di halaman .

kondisi perekonomian  indonesia di lihat dari PDB
Pendapat domestik bruto (PDB) indonesia saat ini menempati urutan ke-18 dari 20 negara yang mempunyai PDB terbesar di dunia . hanya ada 5 negara asia yang masuk ke dalam daftar yang dikeluarkan oleh bank dunia . kelima negara asia tersebut adalah jepang (urutan ke-2) , cina (urutan ke-3) , india (urutan ke-11) , dan korea selatan (urutan ke-15) .
Indonesia yang kini mempunyai PDB mencapai US$700 miliar , boleh saja berbangga . apalagi , dengan pendapatan perkapita yang mencapai US$3000 per tahun menempatakan indonesia di urutan ke-15 negara-negara dengan pendapatan perkapita yang besar , belum lagi , indeks harga saham gabungan yang mencatat rekor terbaik se-asia pasifik pada tahun 2010 .

perhitungan PDB 
Ada dua cara penghitungan PDB , pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan . namun , umumnya , digunakan pendekatan pengeluaran yang dirumuskan PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + ekspor + impor .
konsumsi adalah penegluaran yang dapat dilakukan oleh rumah tangga , investasi oleh sektor usaha , pengeluaran pemerintah oleh pemerintah , dan ekspor impor yang melibatkan sektor luar negri .
dari rumus tersebut dapat dilihat bahwa jika kemiskinan  masih terjadi di beberapa tempat , itu artinya ada ketimpangan penyebaran dan pemerataan pertumbuhan ekonomi dari satu tempat ke tempat lain . hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan berpotensi konflik yang disebabkan oleh rasa iri dan benci  . untuk meredam potensi konflik tersebut , ada beberapa jalan yang bisa diambil ,  baik dari pihak swasta maupun sari pihak pemerintah .

Minggu, 29 Mei 2011

macam-macam perjanjian internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Contoh perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara lain, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional dengan organisasi internasional lain, serta Tahta Suci dengan negara.
Pengertian perjanjian internasional, diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
  2. Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.
  3. UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah RI dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah RI yang bersifat hukum publik.
  4. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentukdan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
  5. Oppenheimer-Lauterpact, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakan.
  6. Dr. B. Schwarzenberger, Perjanjian internasional adalah persetujuan antara subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Adapun subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga internasional dan negara-negara.
  7. Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmaja, S.H. LLM, Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat tertentu.

Kerjasama internasional secara hukum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian internasional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum internasional dan mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu.
Perjanjian antarbangsa atau yang sering disebut sebagai perjanjian internasional merupakan persetujuan internasional yang diatur oleh hubungan internasional serta ditandatangani dalam bentuk tertulis. Contoh perjanjian internasional diantaranya adalah antarnegara atau lebih, antarorganisasi internasional atau lebih, dan antarorganisasi internasional.
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

B. Macam-Macam Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional sebagai sumber formal hukum internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Berdasarkan Isinya
  • Segi politis, seperti pakta pertahanan dan pakta perdamaian.
  • Segi ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan.
  • Segi hukum
  • Segi batas wilayah
  • Segi kesehatan.
Contoh :
  • NATO, ANZUS, dan SEATO
  • CGI, IMF, dan IBRD
2. Berdasarkan Proses/Tahapan Pembuatannya
  • Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi.
  • Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.
Contoh :
  • Status kewarganegaraan Indonesia-RRC, ekstradisi.
  • Laut teritorial, batas alam daratan.
  • Masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.
3. Berdasarkan Subjeknya
  • Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum internasional.
  • Perjanjian internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.
  • Perjanjian antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu organisasi internasional organisasi internasional lainnya.
Contoh :
  • Perjanjian antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi MEE.
  • Kerjasama ASEAN dan MEE.
4. Berdasarkan Pihak-pihak yang Terlibat.
  • Perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat khusus (treaty contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.
  • Perjanjian Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak hanya mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.
Contoh :
  • Perjanjian antara Indonesia dengan Filipina tentang pemberantasan dan penyelundupan dan bajak laut, perjanjian Indonesia dengan RRC pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampaksiring, Bali.
  • Konvensi hukum laut tahun 1958 (tentang Laut teritorial, Zona Bersebelahan, Zona Ekonomi Esklusif, dan Landas Benua), konvensi Wina tahun 1961 (tentang hubungan diplomatik) dan konvensi Jenewa tahun 1949 (tentang perlindungan korban perang).
  • Konvensi hukum laut (tahun 1958), Konvensi Wina (tahun 1961) tentang hubungan diplomatik, konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
5. Berdasarkan Fungsinya
  • Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral).
  • Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja (perjanjian bilateral).
Contoh :
Perjanjian Indonesia dan RRC tentang dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.
Perjanjian internasional menjadi hukum terpenting bagi hukum internasional positif, karena lebih menjamin kepastian hukum. Di dalam perjanjian internasional diatur juga hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara). Kedudukan perjanjian internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa alasan, diantaranya sebagai berikut :

1. Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, sebab perjanjian internasional diadakan secara tertulis.
2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.

C. Istilah Istilah Perjanjian Internasional

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perjanjian internasional merupakan hukum terpenting bagi hukum internasional positif. Hal ini disebabkan karena lebih menjamin kepastian hukum. Kedudukan perjanjian internasional juga dianggap sangat penting karena selain perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, perjanjian internasional diadakan secara tertulis, dan juga karena perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional dalam perjanjian internasional dikenal beberapa istilah. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Traktat (treaty), adalah perjanjian yang paling formal yang merupakan persetujuan dari dua negara atau lebih. Perjanjian ini menitikberatkan pada bidang politik dan bidang ekonomi.
2. Konvensi (convention), adalah persetujuan formal yang bersifat multilateral, dan tidak berkaitan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).
3. Deklarasi (declaration),adalah perjanjian internasional yang berbentuk traktat, dan dokumen tidak resmi.
4. Convenant, adalah anggaran dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
5. Charter, adalah suatu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.
6. Pakta (pact), adalah suatu istilah yang menunjukkan suatu persetujuan yang lebih khusus (Pakta Warsawa).
7. Protokol (protocol), adalah suatu dokumen pelengkap instrumen perjanjian internasional, yang mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausul-klausul tertentu.
8. Persetujuan (Agreement), adalah perjanjian yang bersifat teknis dan administratif. Sifat agreement tidak seresmi traktat atau konvensi, sehingga diratifikasi.
9. Perikatan (arrangement) adalah suatu istilah yang dipakai untuk masalah transaksi-transaksi yang bersifat sementara. Sifat perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.
10. Modus vivendi, adalah sebuah dokumen yang digunakan untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanen, terinci, dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.
11. Proses verbal, adalah suatu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik atau catatan-catatan pemufakatan yang tidak diratifikasi.
12. Ketentuan penutup (final Act), adalah suatu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi.
13. Ketentuan umum (general act), adalah traktat yang bisa bersifat resmi maupun tidak resmi.

D. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur perjanjian internasional yang lengkap dan dibuat melalui tiga tahap, yaitu tahap perundingan, tahap penandatanganan, dan tahap ratifikasi.
1. Perundingan (Negotiation)

Tahapan ini merupakan suatu penjajakan atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Dalam perundingan internasional ini negara dapat diwakili oleh pejabat negara dengan membawa surat kuasa penuh (full powers/credentials), kecuali apabila dari semula peserta perundingan sudah menentukan bahwa full power tidak diperlukan. Pejabat negara yang dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan tanpa membawa full power adalah kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri), menteri luar negeri, dan duta besar. Keempat pejabat tersebut dianggap sudah sah mewakili negaranya karena jabatan yang disandangnya.
Perundingan dalam rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) disebut pembicaraan (talk), perundingan yang dilakukan dalam rangka perjanjian multilateral disebut konferensi diplomati (diplomatik conference). Selain secara resmi terdapat juga perundingan yang tidak resmi, perundingan ini disebut corridor talk.
Hukum internasional dalam tahap perundingan atau negosiasi, memberi peluang kepada seseorang tanpa full powers untuk dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan internasional. Seseorang tanpa full powers yang ikut dalam perundingan internasional ini akan dianggap sah, apabila tindakan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang pada negara yang bersangkutan. Pihak yang berwenang tersebut adalah kepala negara dan/atau kepala pemerintahan (presiden, raja/perdana menteri). Apabila tidak ada pengesahan, maka tindakan orang tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.

2. Tahap Penandatanganan (Signature)

Tahap penandatanganan merupakan proses lebih lanjut dari tahap perundingan. Tahap ini diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the text). Penerimaan naskah (adoption of the text) yaitu tindakan perwakilan negara dalam perundingan internasional untuk menerima isi dari perjanjian nasional. Dalam perjanjian bilateral, kedua perwakilan negara harus menyetujui penerimaan naskah perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian multilateral, bila diatur secara khusus dalam isi perjanjian, maka berlaku ketentuan menurut konferensi Vienna tahun 1968 mengenai hukum internasional. Penerimaan naskah ini dapat dilakukan apabila disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga peserta konferensi.
Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) dilakukan oleh para perwakilan negara yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian bilateral maupun multilateral pengesahan naskah dapat dilakukan para perwakilan negara dengan cara melakukan penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf (initial). Pengesahan bunyi naskah adalah tindakan formal untuk menerima bunyi naskah perjanjian.

Penandatanganan dilakukan oleh menteri luar negeri (menlu) atau kepala pemerintahan. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
3. Tahap Ratifikasi (Ratification)
Pengesahan atau ratifikasi adalah persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara tersebut. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang telah disepakati oleh para pihak.

Setelah penandatanganan naskah perjanjian internasional dilakukan oleh para wakil negara peserta perundingan, maka selanjutnya naskah perjanjian tersebut dibawa pulang ke negaranya masing-masing untuk dipelajari dengan seksama untuk menjawab pertanyaan, yaitu apakah isi perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan kepentingan nasional atau belum dan apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh melampaui batas wewenangnya atau tidak. Apabila memang ternyata isi dalam perjanjian tersebut sudah sesuai, maka negara yang bersangkutan tersebut akan meratifikasi untuk menguatkan atau mengesahkan perjanjian yang ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa tersebut.
Ratifikasi bertujuan memberi kesempatan kepada negara peserta perjanjian internasional untuk mengadakan peninjauan dan pengkajian secara seksama apakah negaranya dapat diikat suatu perjanjian internasional atau tidak. Ratifikasi perjanjian internasional dibedakan menjadi tiga. Hal ini untuk mengetahui siapakah yang berwenang meratifikasi suatu naskah perjanjian internasional di negara tersebut. Ketiga sistem ratifikasi tersebut adalah sebagai berikut :

  • Sistem ratifikasi oleh badan eksekutif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Misalnya saja pada pemerintahan otoriter seperti NAZI.
  • Sistem ratifikasi oleh badan legislatif, yaitu bahwa suatu perjanjian baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh badan legislatif. Misalnya adalah Honduras, Turki, dan Elsalvador.
  • Sistem ratifikasi campuran (badan eksekutif dan legislatif), yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila badan eksekutif dan legislatif sama-sama menentukan proses ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia.
Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga eksekutif dan legislatif dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dengan keputusan Presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang Dasar 1945 yaitu pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan Presiden, diantaranya yaitu perjanjian induk yang berkaitan dengan kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal.
Ratifikasi melalui undang-undang dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyangkut materi-materi di bawah ini,
  • Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
  • Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI.
  • Kedaulatan atau hak berdaulat negara.
  • Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
  • Pembentukan kaidah hukum baru.
  • Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

hukum humaniter internasional dan hak asazi manusia

nternasional untuk menghindari penderitaan yang semestinya akibat perang – peraturan-peraturan dalam suatu Konvensi yang mereka setuju sendiri untuk mematuhinya. Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaikan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Lembar Fakta ini menelusuri perkembangan hukum humaniter internasional dan memberi gambaran terkini tentang ruang lingkup dan pengertian hukum humaniter internasional bagi tentara maupun masyarakat sipil yang terperangkap dalam pertikaian bersenjata.
Pertama-tama, dibutuhkan suatu definisi. Apa arti hukum humaniter internasional? Kerangka hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasan terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata. Tujuannya adalah:
  • Memberi perlindungan pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaian – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
  • Membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.
    Perkembangan hukum internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan dengan hukum tentang perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan hak asasi manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.
    Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengijinkan Negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara mengabaikan beberapa kewajiban Negara berdasarkan Kovenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,“ tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat.” Pasal 15 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia berisi aturan yang sama. Secara berkala, Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kaum Minoritas melakukan pembahasan tentang Negara dalam keadaan darurat dan penghormatan hak asasi manusia dalam situasi demikian.
    Namun, kebutuhan agar hak asasi manusia tetap terjaga walaupun dalam waktu perang telah mendapat pengakuan sepenuhnya; Pasal 3 dari empat Konvensi Jenewa tentang hukum humaniter 1949 menyatakan bahwa pada masa pertikaian bersenjata seseorang yang dilindungi konvensi “dalam kondisi apapun diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan yang merugikan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria sejenis lainnya.”
    Dalam sidang ke-43 Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kaum Minoritas (5-30 Agustus 1991), sebuah laporan dari Sekretaris Jenderal tentang pendidikan sehubungan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia saat terjadi pertikaian bersenjata, disajikan dalam Bagian 4 dari ketentuan agenda (E/CN.4/Sub.2/1991/5). Dua tahun sebelumnya Sub-Komisi menetapkan resolusi 1989/24 tentang “hak asasi manusia pada Masa Pertikaian Bersenjata,” karena merasa prihatin bahwa selama pertikaian-pertikaian demikian seringkali ketentuan yang berkaitan dengan hukum humaniter internasional dan hukum tentang hak asasi manusia tidak dihormati. Pada sidang ke-46 Komisi hak asasi manusia menetapkan Resolusi No. 1990/60 yang mengakui peran penting Komite Palang Merah Internasional dalam menyebarkan hukum humaniter internasional dan mengajak Negara-negara “untuk memberi perhatian khusus pada pendidikan bagi semua anggota keamanan dan militer lainnya, dan semua badan penegak hukum, mengenai hukum internasional tentang hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang berlaku ketika terjadi pertikaian bersenjata”.
Tiga arus utama memberi kontribusi terhadap penyusunan hukum humaniter internasional. Ketiga arus itu adalah “Hukum Jenewa,” diberikan oleh Konvensi dan Protokol internasional yang terbentuk berdasarkan sponsor Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dengan perhatian utama pada perlindungan korban pertikaian; “Hukum Den Haag,” berdasarkan hasil Konperensi Perdamaian di ibukota Belanda pada 1899 dan 1907, yang pada prinsipnya mengatur sarana dan metode perang yang diizinkan; dan usaha-usaha PBB menjamin penghormatan hak asasi manusia pada pertikaian bersenjata dan membatasi penggunaan senjata-senjata tertentu.
Dalam perkembangannya, ketiga arus besar ini akhirnya bergabung menjadi gelombang aksi.
Pada Awalnya…………….
Ketika tentara Perancis dan Austria berperang dalam pertempuran Solferini di utara Italia pada Juni 1859, terlintas ide dalam pikiran Henri Dunant, seorang pemuda Swiss, tentang langkah internasional untuk mengurangi penderitaan orang yang sakit dan terluka dalam perang.
Dunant sendiri kebetulan berada di antara ribuan orang Perancis dan Austria yang terluka setelah pertempuran, dan bersama beberapa sukarelawan lain melakukan apa saja yang dapat dilakukan untuk meringankan penderitaan mereka. Terkejut dengan apa yang dilihatnya, Dunant kemudian menulis buku berjudul Un Souvenir de Solferino, diterbitkan tahun 1862. Dalam buku itu Dunant memberi saran untuk membentuk perkumpulan nasional untuk merawat orang yang sakit atau terluka tanpa memandang ras, kebangsaan atau agama. Dunant juga mengusulkan agar Negara-negara membuat perjanjian yang mengakui kegiatan organisasi ini dan menjamin perlakuan yang lebih baik terhadap orang yang terluka.
Bersama empat rekannya, Hennri Dunant lalu membentuk Komite Internasional untuk Pertolongan bagi Orang yang Terluka (kemudian diubah namanya menjadi Komite Palang Merah Internasional). Ide Dunant mendapat tanggapan luas. Pada beberapa negara didirikan perkumpulan nasional dan dalam Konperensi diplomatik di Jenewa 1864, delegasi dari 16 bangsa Eropa menetapkan Konvensi untuk Perbaikan Kondisi terhadap Tentara yang Terluka dalam Perang.
Dokumen ini, Konvensi Jenewa Pertama, mencakup aturan pokok universal dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Sebagai lambang, palang merah dengan latar belakang putih, ditetapkan sebagai tanda pengenal bagi personel kesehatan militer. Di Negara Islam, lambang ini berupa bulan sabit merah berlatar belakang putih. Sejak itu staf dan fasilitas kesehatan dianggap netral. Konvensi Jenewa ini secara formal meletakkan dasar-dasar hukum humaniter internasional.

Memperluas Persetujuan Internasional
Dalam waktu singkat terlihat jelas perlunya memperluas ruang lingkup Konvensi Jenewa. Pada 1868, sebuah rancangan baru konvensi dibentuk dengan gagasan memperluas prinsip-prinsip yang ditetapkan empat tahun sebelumnya, dengan memasukkan pertempuran di lautan. Langkah lain, Deklarasi St. Petersburg 1868, meminta Negara-Negara tidak menggunakan senjata yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu. Deklarasi ini melarang penggunaan senjata peledak.
Konperensi Perdamaian di Den Haag pada 1899 dan 1907 menetapkan konvensi-Konvensi hukum dan tata cara perang, serta deklarasi yang melarang praktek-praktek tertentu, termasuk pemboman terhadap kota yang tidak mempunyaipertahanan, penggunaan gas beracun dan peluru berhulu lunak. Konperensi ini gagal bersepakat mengenai sebuah sistem perwasitan wajib, yang dimaksudkan untuk menengahi pertentangan yang dapat mengancam perdamaian.
Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada tahun berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di laut.
Penghormatan terhadap Konvensi Jenewa dan operasi yang dipimpin oleh Komite Palang Merah Internasional memainkan peranan penting dalam menyelamatkan nyawa dan mencegah penderitaan yang tidak seharusnya dalam Perang Dunia I (1914-1918). Namun, besarnya penderitaan manusia akibat perang menambah keyakinan masyarakat internasional agar Konvensi Jenewa itu diperkuat.
Dengan semangat ini, konperensi di Jenewa 1929 telah menetapkan sebuah Konvensi dengan ketentuan-ketentuan yang lebih baik bagi perawatan orang sakit dan terluka, dan Konvensi kedua tentang perlakuan terhadap tawanan perang. Empat tahun sebelumnya, sebuah Protokol telah ditetapkan pada sebuah konperensi Liga Bangsa-bangsa untuk melarang penggunaan asphyxiating dan gas beracun. Perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia II (1939-1945) merupakan bukti kuat bagi perlunya meninjau kembali hukum humaniter internasional agar sesuai dengan sifat perang yang berubah. Keputusan diambil untuk membuat langkah awal dan ditetapkanlah Konvensi Jenewa yang baru, mencakup penghormatan atas: orang yang sakit dan terluka dalam pertempuran darat (Konvensi Pertama), anggota militer yang terluka, sakit dan terdampar (Konvensi Kedua), tawanan perang (Konvensi Ketiga), dan korban dari penduduk sipil (Konvensi Keempat). Konvensi-Konvensi ini ditetapkan dalam suatu Konperensi diplomatik internasional yang diselenggarakan di Jenewa pada April sampai Agustus 1949.
Suatu penemuan yang penting – yang berlaku bagi semua Konvensi – adalah bahwa mereka menetapkan peraturan-peraturan minimum yang harus dipatuhi dalam sebuah pertikaian bersenjata dalam negeri.
Keempat Konvensi Jenewa tetap berlaku sampai saat ini. Namun, setelah lewati empat dasawarsa, bentuk baru pertikaian bersenjata yang seringkali lebih tajam dan berbahaya tetapi terlokalisir dan melibatkan pasukan dan kelompok lain dalam jumlah terbatas, telah mengalami peningkatan. Perubahan sifat dari konflik bersenjata menuntut penanganan yang lebih jauh.
Dengan demikian, Konperensi Diplomatik tentang Penegasan kembali dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang diselenggarakan di Jenewa sejak 1974 sampai 1977 menetapkan dua Protokol Tambahan pada Konvensi 1949.
Protokol I mengatur perlindungan bagi korban akibat pertikaian internasional. Protokol II tentang korban akibat pertikaian bersenjata dalam negeri, termasuk pertikaian antara angkatan bersenjata pemerintah dan pemberontak atau kelompok teroganisir lain yang menguasai sebagian wilayah, tetapi tidak mengatur gangguan dan ketegangan dalam negeri dalam bentuk kerusuhan, atau tindak kekerasan yang bersifat tertutup dan sporadis.
Konperensi Diplomatik juga memberi rekomendasi untuk menyelenggarakan Konperensi khusus sehubungan dengan dasar-dasar humaniter tentang larangan penggunaan senjata konvensional tertentu.
Pada 31 Desember 1990, 164 Negara telah menjadi Peserta Konvensi Jenewa, 99 Negara telah meratifikasi atau menyetujui Protokol I, dan 89 Negara telah meratifikasi atau menyetujui Protokol II. Berdasarkan permintaan Majelis Umum PBB, Sekretaris Jenderal PBB secara berkala menyampaikan laporan mengenai penerimaan Protokol-Protokol oleh Negara-negara.

Butir-Butir Penting Protokol
Beberapa aspek tertentu dari protokol, sebagai perkembangan terbaru pada “Hukum Jenewa,” pantas mendapat penjelasan lebih lanjut. Protokol I (pertikaian internal) memuat aturan yang berhubungan dengan peran Kekuasaan Perlindungan yang dirancang setiap pihak yang terlibat pertikaian, untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan seluruh Konvensi dan Protokol. Protokol I ini mengandung ketentuan-ketentuan untuk memulihkan kondisi orang yang terluka, sakit dan terdampar, serta menyediakan pengumpulan dan pemberian informasi tentang orang yang hilang dan tewas.
Dalam larangan penggunaan metode dan praktek peperangan yang mengakibatkan luka yang hebat, penderitaan yang tidak semestinya dan kerusakan yang luas dalam jangka panjang pada lingkungan hidup, Protokol I menandai akhir pemisahan “Hukum Jenewa” dan “Hukum Den Haag.”
Setiap pasukan perang yang jatuh ke tangan musuh dianggap sebagai tawanan perang, dan upaya perlindungan pada tahanan telah ditentukan. Namun, baik mata-mata maupun tentara bayaran tidak mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Protokol I digunakan untuk melindungi penduduk sipil, demikian pula bagi penduduk sipil yang jatuh ke tangan musuh. Pihak-pihak yang terlibat pertikaian harus selalu membedakan antara masyarakat sipil dan pasukan perang. Sengaja membiarkan penduduk sipil kelaparan dan perusakan lingkungan alam dilarang.
Ada beberapa upaya khusus untuk melindungi perempuan dan anak-anak dan wartawan dalam tugas yang berbahaya harus diperlakukan sebagai orang sipil. Perlakuan khusus juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun keagamaan, dan terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan. Peraturan yang sama juga terdapat dalam Protokol II berkenaan dengan situasi pertikaian internal. Protokol II berisi peraturan-peraturan yang berhubungan dengan korban akibat pertikaian bersenjata non internasional, dan dengan demikian melengkapi prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam pasal 3 (Lampiran Konvensi 1949).
Kedua Protokol lebih jauh menghimbau perlakuan yang manusiawi terhadap orang yang tidak, atau tidak lagi terlibat dalam kekerasan. Pembunuhan, penyiksaan, mutilasi serta hukuman badan sama sekali dilarang. Ada beberapa ketentuan tentang perawatan bagi orang sakit, terluka atau terdampar, dan tentang perlindungan bagi penduduk sipil dari tindak atau ancaman kekerasan, penelantaran sebagai taktik perang serta pengusiran secara paksa. Tindak perusakan monumen sejarah, karya seni, atau tempat ibadah – atau penyalahgunaannya untuk mendukung kepentingan militer – dilarang.

PERAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Pemeliharaan perdamaian serta pencegahan pertikaian bersenjata menjadi keprihatinan utama PBB. Penghormatan pada hak asasi manusia di setiap waktu dan di semua tempat merupakan prinsip pokok dari Organisasi ini.
Pada 1949 Komisi Hukum Internasional memutuskan untuk tidak memasukkan hukum tentang pertikaian bersenjata dalam agendanya mengingat pembahasan cabang hukum internasional ini bisa dipandang sebagai hilangnya kepercayaan pada kemampuan PBB memelihara perdamaian dan keamanan.
Namun sejak awal, badan-badan PBB telah memberi dukungan pada Konvensi Jenewa dan Protokolnya, dan telah mengajak Negara-negara meratifikasinya atau menjadikannya sebagai pedoman. Pelaksanaan hukum humaniter selalu muncul dalam perdebatan dan keputusan dari Komisi Hak Asasi Manusia serta Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kaum Minoritas.
Pada 1960an PBB memperluas keterlibatannya dalam pembentukan sistem hukum humaniter internasional. Babak baru dimulai dalam kerja sama, interaksi, dan dukungan timbal-balik terhadap langkah kemanusiaan antara PBB dan Komite Palang Merah Internasional. Pada 1967 Dewan Keamanan PBB (Resolusi 237) menegaskan bahwa hak asasi manusia harus dihormati oleh semua pihak yang terlibat pertikaian; mereka harus memenuhi semua kewajiban yang telah mereka terima dalam Konvensi Jenewa 1949. Resolusi ini disambut dengan baik oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 2252), dan telah sering disampaikan dan ditegaskan kembali.

KONPERENSI TEHERAN
Konperensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Teheran 1968 (Tahun Hak Asasi Manusia Internasional) menyatakan bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan harus dikedepankan dalam masa pertikaian bersenjata.
Pada tahun yang sama, Majelis Umum PBB, dalam resolusi 2444 (XXIII) mendukung rekomendasi dari Konperensi agar Sekretaris Jenderal PBB, setelah melakukan konsultasi dengan Komite Palang Merah Internasional, mengajak seluruh Negara Anggota PBB memberi perhatian pada aturan hukum humaniter internasional yang berlaku, dan memerintahkan mereka menunda penetapan aturan baru, untuk memberi jaminan bahwa masyarakat sipil dan pasukan perang mendapat perlindungan sesuai dengan “prinsip-prinsip hukum bangsa-bangsa yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat sipil, dari hukum-hukum kemanusiaan dan dari keyakinan yang hidup dalam masyarakat.”
Peraturan baru memang dibutuhkan, demikian disepakati dalam Konperensi, untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap masyarakat sipil, tawanan perang dan pasukan perang, sementara praktek-praktek militer dan metode pertempuran tertentu harus dianggap sebagai jahat dan tidak manusiawi.
Resolusi Majelis Umum 2444 juga menyetujui resolusi dari Konperensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang Ke-12 (Wina, 1965) yang mencantumkan tiga prinsip dasar tentang kegiatan dalam pertikaian bersenjata:
  • Hak dari pihak yang bertikai untuk menentukan cara melukai lawannya bukanlah tanpa pembatasan;
  • Dilarang melakukan penyerangan terhadap permukiman sipil;
  • Telah tercipta kerja sama erat dalam hubungan antara PBB dan Komite Palang Merah Internasional sehingga PBB menganugerahi status pengamat sebagai pengakuan formal pada Komite Palang Merah Internasional pada Oktober 1990. Dengan menetapkan resolusi 2444, Majelis Umum menyatakan tidak dapat menerima gagasan untuk memerangi seluruh penduduk dengan tujuan memaksa lawan menyerah. Resolusi tersebut juga memberi tekanan pada percepatan gerakan dari tiga hukum humaniter internasional saat ini – Hukum Jenewa, Hukum Den Haag serta PBB – untuk menjadi satu arus utama. Resolusi itu mengakui adanya interaksi antara peraturan untuk melindungi korban perang, untuk menegakkan aturan-aturan pertempuran, dan untuk melindungi hak asasi manusia dalam pertikaian bersenjata.
  • Harus selalu dibedakan antara orang yang ikut serta dalam pertempuran dengan penduduk sipil sehingga sebanyak mungkin penduduk sipil tidak terlibat.

LAPORAN SEKRETARIS JENDERAL PBB
Seri pertama laporan-laporan dari Sekretaris Jenderal tentang penghormatan hak asasi manusia dalam masa pertikaian bersenjata diserahkan kepada Majelis Umum pada 1969. Majelis Umum menanggapinya dengan meminta Sekretaris Jenderal untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut, dan memberikan perhatian khusus untuk melindungi hak masyarakat sipil dan pasukan perang dalam perjuangan rakyat untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan atau dominasi asing dan menentukan nasib sendiri serta pelaksanaan yang lebih baik konvensi-konvensi dan peraturan-peraturan hukum humaniter Internasional yang berlaku.
Laporan kedua, pada 1970, memberi ikhtisar mengenai perlindungan yang diberikan oleh instrumen hak asasi manusia PBB – sebagai contoh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik – pada pertikaian bersenjata. Laporan ini juga membicarakan pembangunan tempat perlindungan bagi masyarakat sipil, dan larangan penggunaan senjata kimia dan bakteri.
Laporan tersebut juga memberikan informasi tentang orang-orang yang harus dilindungi dalam situasi pertikaian dalam negeri dan perang gerilya. Laporan juga menetapkan prasyarat-prasyarat yang mesti dipenuhi untuk memberi status “hak istimewa dalam peperangan” (tawanan perang seperti disebutkan dalam Konvensi Jenewa Ketiga). Dalam laporan dinyatakan bahwa Konvensi Jenewa Keempat berlaku bagi anggota pasukan pembebasan dan mengusulkan agar Konvensi ini diperluas sehingga mencakup pertikaian yang tidak bersifat internasional.
Dalam beberapa resolusi di 1970, Majelis Umum:
  • Sepakat bahwa hak asasi manusia dasar, sebagaimana diterima dalam Hukum Internasional dan instrumen Internasional, tetap berlaku pada masa pertikaian bersenjata;
  • Menyusun langkah-langkah kerangka persetujuan Internasional tentang perlindungan wartawan dalam tugas berbahaya;
  • Menegaskan bahwa anggota gerakan perlawanan dan pasukan pembebasan yang tertangkap diperlakukan sebagai tawanan perang;
  • Mengutuk pemboman terhadap penduduk sipil dan penggunaan senjata kimia dan bakteri;
  • Mempertimbangkan agar tawanan perang yang luka berat dan sakit parah dikembalikan ke Negaranya, dan tawanan perang yang menjalani hukuman jangka panjang dikembalikan ke Negaranya atau diserahkan ke sebuah Negara netral;
  • Menghendaki perlakuan yang manusiawi bagi orang-orang yang berhak atas perlindungan dari Konvensi Jenewa Ketiga dan melakukan peninjauan berkala ke tempat penahanan “dengan Kekuasaan Perlindungan atau organisasi kemanusiaan seperti Komite Palang Merah Internasional”;
  • Menyambut dengan baik keputusan Komite Palang Merah Internasional untuk menyelenggarakan Konperensi tentang penegasan kembali dan perkembangan hukum humaniter yang dapat diterapkan saat terjadi pertikaian bersenjata, dan menegaskan pentingnya kerja sama yang erat antara PBB dan Komite Palang Merah Internasional.
Majelis Umum menegaskan bahwa tempat tinggal, tempat perlindungan, wilayah rumah sakit serta instalasi lain yang digunakan penduduk sipil tidak boleh dijadikan sasaran operasi militer. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan korban akibat pembalasan, pemindahan secara paksa atau “serangan lain terhadap integritas mereka.” Majelis juga menyatakan bahwa pemberian bantuan internasional kepada penduduk sipil sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM dan instrumen hak asasi manusia internasional lainnya.
Dalam tahun-tahun berikutnya, Majelis Umum menerima tujuh laporan tentang hak asasi manusia dalam pertikaian bersenjata dari Sekretaris Jenderal, yang juga menyampaikan laporan tentang hukum internasional mengenai larangan atau pembatasan penggunaan senjata tertentu, mengenai perlindungan terhadap wartawan serta penggunaan napalm dan senjata pembakar lainnya.

Pejuang Kemerdekaan
Status hukum dari pasukan pembebasan yang sedang berjuang melawan penjajah atau rezim rasialis berdasarkan hak untuk menentukan nasib sendiri dirumuskan Majelis Umum pada 1973. Prinsip-prinsip yang disetujui sebagai berikut:
  • Setiap gerakan perlawanan seperti tersebut di atas adalah sah dan sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
  • Upaya menindas perlawanan terhadap penjajahan dan rezim yang rasis tidak sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM, dan Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan bagi Negara-Negara dan Bangsa-Bangsa Jajahan, demikian pula dengan Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerja Sama Bersahabat Antar Negara. Upaya-upaya tersebut menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan.
  • Anggota pasukan pembebasan yang tertangkap harus diberi status sebagai tawanan perang berdasarkan Konvensi Jenewa Ketiga.
  • Penggunaan tentara bayaran untuk menghadapi gerakan pembebasan bangsa adalah tindak kejahatan.
  • Pelanggaran atas status hukum pasukan perang harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum internasional.

Perlindungan Bagi Perempuan Dan Anak
Deklarasi tentang Perlindungan bagi Perempuan dan Anak-Anak dalam Keadaan Darurat dan Pertikaian Bersenjata diproklamirkan oleh Majelis Umum pada 1974. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa segala bentuk penindasan serta perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi terhadap perempuan dan anak-anak – termasuk pemenjaraan, penyiksaan, penembakan, penangkapan massal, hukuman badan, dan perusakan tempat tinggal serta pengusiran paksa – yang dilakukan dalam peperangan sebagai bagian dari operasi militer atau pendudukan suatu wilayah, dianggap sebagai tindak kejahatan.
Perlindungan Bagi Wartawan
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, beberapa bentuk perlindungan dapat diberikan bagi wartawan di daerah pertikaian, akan tetapi, seperti yang dicatat oleh Majelis Umum pada 1970, beberapa kategori wartawan dalam melaksanakan tugas berbahaya tidak terjangkau. Dengan mandat dari Majelis Umum dan Dewan Ekonomi dan Sosial, pada 1972 Komisi Hak Asasi Manusia menyetujui rancangan konvensi internasional tentang perlindungan bagi wartawan yang bertugas di wilayah pertikaian bersenjata. Rancangan tersebut disampaikan pada Konperensi Diplomatik tentang Pengesahan dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional dari Komite Palang Merah Internasional, dan masalah tersebut disetujui dalam pasal 79 Protokol I yang ditetapkan Konperensi pada 1977. Pasal ini menyatakan bahwa wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya dianggap sebagai orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan tindakan yang secara merugikan mempengaruhi status sipilnya. Protokol ini memberikan model kartu identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah Negara asal wartawan itu.

MELAPORKAN ORANG HILANG DAN TEWAS

Konvensi PBB tentang tewasnya orang yang hilang mulai berlaku pada 1952, dan tidak berlaku lagi – setelah dua kali diperpanjang – pada 1967. Kesulitan hukum yang muncul dari hilangnya orang sebagai akibat pertikaian bersenjata, yang kematiannya tidak dapat dipastikan, saat ini telah di atasi oleh Protokol I Konvensi Jenewa 1949. Protokol ini menyatakan bahwa sebagai prinsip umum, dalam waktu singkat bila keadaan mengizinkan, dan selambat-lambatnya pada saat kekerasan berakhir, setiap pihak yang terlibat pertikaian harus mengadakan pencarian terhadap orang yang dilaporkan hilang, dan melaporkan semua informasi yang relevan pada pihak lawan.
SENJATA: LARANGAN DAN PEMBATASAN
Sejak Deklarasi St. Petersburg pada 1868, berulang kali dilakukan upaya melalui negosiasi internasional untuk melarang atau membatasi penggunaan senjata yang mengakibatkan penderitaan yang tidak semestinya pada pasukan, atau yang membahayakan penduduk sipil akibat pertikaian bersenjata.
Senjata Nuklir
Pada masa-masa permulaan PBB, fokus perhatian adalah masalah senjata nuklir. Resolusi pertama ditetapkan oleh Majelis Umum pada 1946, disiapkan untuk mendirikan Komisi Energi Atom yang salah satu tugasnya adalah merumuskan usulan untuk menghapuskan senjata nuklir dari gudang militer suatu Negara. Walaupun tekanan tetap diberikan pada perlucutan senjata, penggunaan senjata pada waktu perang dan akibat-akibatnya terhadap hak asasi manusia dasar, termasuk hak untuk hidup, mulai muncul dalam agenda badan-badan PBB 1960-an. Majelis Umum menyatakan dalam resolusi 1653 (XVI) 1961, bahwa penggunaan senjata nuklir dan termonuklir merupakan pelanggaran langsung atas Piagam PBB, yang mengakibatkan “penderitaan menyeluruh dan kehancuran pada manusia dan peradaban dan ….bertentangan dengan ketentuan hukum internasional serta hukum-hukum kemanusiaan…” Setiap Negara yang menggunakan senjata ini dianggap melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum kemanusiaan dan melakukan tindak kejahatan terhadap umat manusia dan kehidupan masyarakat.
Resolusi ini ditegaskan kembali pada 1978, 1979, dan 1981.
Perjanjian Larangan Pengujian Senjata Nuklir di Atmosfir, Angkasa Luar dan di bawah Laut mulai berlaku pada 1963. Walaupun tidak diputuskan di bawah naungan PBB, Perjanjian ini mendapat persetujuan dari Majelis Umum. Para Negara Pihak menyatakan bahwa mereka berusaha tidak melanjutkan semua percobaan peledakan senjata nuklir, dan bahwa mereka bermaksud untuk mengakhiri kontaminasi terhadap lingkungan hidup akibat radio aktif. Dalam Perjanjian tentang Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara dalam Melakukan Eksplorasi dan Pemanfaatan Angkasa Luar, termasuk bulan dan benda-benda angkasa lainnya (1966), para Negara Pihak berjanji tidak akan menempatkan di orbit, benda apapun yang membawa senjata nuklir atau jenis senjata pemusnah massal. Bulan dan benda-benda angkasa lain hanya akan digunakan untuk tujuan perdamaian. Dua tahun kemudian Majelis Umum memberi persetujuan pada Perjanjian tentang Anti-Pengembangan Senjata Nuklir yang mewajibkan setiap Negara Pihak yang mempunyai senjata nuklir berjanji tidak melakukan alih teknologi, baik langsung maupun tidak langsung, atas senjata nuklir atau hulu ledak nuklir, atau menguasainya. Mereka tidak akan membantu, mendorong atau mempengaruhi setiap Negara yang tidak memiliki senjata nuklir untuk membuat atau memperoleh senjata nuklir. Perjanjian yang melarang penempatan senjata nuklir dan senjata penghancur massal lainnya di atas lautan, dasar laut atau samudera mendapat persetujuan dari Majelis Umum, dan dibuka untuk ditandatangani pada 1971. Para Peserta perjanjian dilarang menempatkan senjata-senjata tersebut atau bermaksud untuk meluncurkan atau melakukan percobaan, di atas laut atau di dalam atau di dasar laut. Dalam Deklarasi Pencegahan Bencana Nuklir, Majelis Umum pada 1981 menyatakan bahwa Negara atau negarawan yang memulai penggunaan senjata nuklir berarti melakukan tindak kejahatan terbesar terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini menyebutkan bahwa Energi Nuklir dapat digunakan semata-mata untuk tujuan perdamaian.
Perkembangan dari senjata pemusnah massal baru yang memiliki dampak yang sama dengan daya ledak senjata nuklir telah didiskusikan beberapa kali dalam Majelis Umum. Pada 1986, Majelis menyampaikan kepada seluruh negara, begitumengetahui adanya senjata pemusnah massal baru, agar melakukan negosiasi dengan segera untuk melarang dan menghentikan perkembangannya.

Senjata Kimia Dan Bakteri
Dalam berbagai kesempatan, Majelis Umum memberi rekomendasi agar Negara yang belum memberi persetujuan pada Protokol 1925 tentang larangan penggunaan asphyxiating dalam peperangan dan gas beracun serta senjata bakteri dalam perang, harus menyetujuinya.
Konvensi Larangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan Senjata Bakteri dan Senjata Beracun dan Penghancurannya mendapat persetujuan dari Majelis pada 1972, dibuka untuk ditandatangani pada 1972, dan mulai diberlakukan pada 1975. Negara Pihak Konvensi berjanji untuk tidak mengembangkan, memproduksi, menimbun, memperoleh atau menyimpan “zat-zat atau racun mikroba atau senjata biologi lainnya …yang tidak memiliki tujuan untuk perlindungan, pengamanan, atau tujuan perdamaian lainnya” atau “senjata, perlengkapan atau sarana yang dirancang untuk menggunakan zat-zat atau racun tersebut untuk tujuan jahat, atau untuk digunakan dalam pertikaian bersenjata.” Konvensi juga mencantumkan penghancuran dan pengubahan zat dan senjata tersebut untuk tujuan damai.
Kesimpulan konvensi yang melarang pengembangan, produksi dan penimbunan semua senjata kimia dan penghancurannya, yang diputuskan Majelis pada 1978, merupakan salah satu tugas mendesak bagi masyarakat internasional.
Senjata Konvensional
Penggunaan bom napalm mulai didiskusikan pada Konperensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Teheran (1968). Usulan Konperensi agar diadakan suatu penelitian, didukung oleh Komite Palang Merah Internasional. Laporan tentang napalm, senjata penghancur lainnya dan semua aspek yang mungkin timbul akibat penggunaannya, disampaikan oleh Majelis Umum 1972, yang menyimpulkan bahwa penyebaran kebakaran melalui senjata ini berdampak kepada seluruh sasaran baik militer maupun sipil, bahwa orang yang terluka benar-benar kesakitan, dan bahwa tindakan pengobatan sulit didapat di sebagian besar Negara .
Konvensi PBB tentang Larangan Atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang dapat mengakibatkan Luka Berat atau Berdampak secara Menyeluruh, merupakan hal yang dituangkan dalam Konperensi yang diselenggarakan di Jenewa pada 1979 dan 1980. Penyelenggaraan Konperensi ini telah direkomendasikan oleh Konperensi diplomatik, yang pada 1977 memberi persetujuan atas Protokol Tambahan dari Konvensi Jenewa 1949.
Hubungan yang dekat antara konvensi senjata konvensional dan aturan Humaniter Internasional lainnya, termasuk protokol 1977, diakui oleh Negara Pihak dengan mengingat ‘prinsip umum perlindungan bagi penduduk sipil dari akibat perang,‘ seperti juga prinsip untuk menghindari penderitaan yang tidak semestinya dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Tiga perangkat Protokol menyertai Konvensi ini. Protokol pertama melarang penggunaan senjata yang mengakibatkan luka yang tidak dapat dideteksi dengan sinar X. Protokol kedua bertujuan untuk melarang atau membatasi penggunaan ranjau darat dan peralatannya yang diaktifkan dengan kontrol jarak jauh atau kontrol waktu. Protokol ketiga membatasi penggunaan senjata yang dapat membakar .

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
PBB telah menetapkan peraturan bagi kerja sama Internasional untuk pencegahan dan hukuman tindak kejahatan
terhadap perdamaian, tindak kejahatan dalam perang dan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Komitmen ini telah menambah dimensi baru dan penting terhadap hukum Humaniter Internasional.
Konvensi pencegahan dan hukuman bagi tindak kejahatan genosida yang disetujui oleh Majelis Umum pada 1948 merupakan salah satu langkah awal dalam bidang ini. Konvensi sepakat bahwa genosida, baik yang dilakukan pada saat damai maupun perang, merupakan tindak kejahatan berdasarkan hukum Internasional yang mesti dicegah dan dihukum Negara Pihak.
Tugas utama lainnya adalah untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum Internasional yang diakui dalam Piagam Pengadilan Nuremberg, yang mengadili penjahat perang setelah Perang Dunia II. Rumusan ini disiapkan komisi hukum Internasional berdasarkan petunjuk dari Majelis Umum pada 1950.
Komisi juga membuat rancangan kode pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, yang berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana dari individu, sebagaimana diputuskan dalam pandangan Pengadilan Nuremberg bahwa “tindak kejahatan terhadap hukum Internasional dilakukan oleh manusia, bukan oleh suatu entitas abstrak, dan hanya dengan menjatuhkan hukuman kepada individu yang melakukan tindak kejahatan tersebut, maka ketentuan Hukum Internasional baru dapat ditegakkan.”
PENGHAPUSAN KETENTUAN TENTANG PEMBATASAN
Konvensi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan disiapkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia dan Dewan Ekonomi dan Sosial yang ditetapkan oleh Majelis Umum pada tahun 1968, dan mulai berlaku pada 1970.
Negara Pihak Konvensi berjanji untuk menghapuskan pembatasan domestik tentang penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan ini, dan sesuai dengan hukum Internasional, memungkinkan dilakukannya ekstradisi.
Pada 1973 Majelis menetapkan sembilan prinsip kerja sama internasional untuk mendeteksi, menangkap, melakukan ekstradisi dan menghukum seseorang yang bersalah atas kejahatan perang dan kemanusiaan.
Akses yang lebih luas pada data-data Komisi Kejahatan Perang diusulkan oleh Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas pada 1987, ketika Sub-Komisi ini mendiskusikan usaha untuk mengajukan terdakwa pelaku kejahatan perang ke pengadilan. Sub-Komisi ini meminta Negara-negara untuk menjamin bahwa pelaku kejahatan seperti tersebut di atas mendapatkan hukuman yang setimpal.

TENTARA BAYARAN
Tentara bayaran seperti disebutkan dalam Protokol I Konvensi Jenewa tidak memiliki hak untuk dianggap sebagai pasukan tempur atau tawanan perang.
Praktek penggunaan tentara bayaran untuk menghadapi gerakan kemerdekaan bangsa atau untuk menjatuhkan pemerintahan dipandang sebagai tindakan kejahatan oleh Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, dan Komisi Hak Asasi Manusia pada beberapa kesempatan sejak era 1960an sampai sekarang. Pada 1987, Komisi ini menyampaikan pembahasan khusus tentang tentara bayaran tersebut.
Sementara itu suatu komite dari Majelis Umum menyelesaikan tugas untuk membuat rancangan konvensi menentang kegiatan memperkerjakan, menggunakan, membiayai dan melatih tentara bayaran. Konvensi ini ditetapkan Majelis Umum pada 1989.





latar belakang berlakunya hukum pidana internasional

G.J. Starke dan J.L. Brierly berpendapat bahwa masyarakat internasional itu pada hakikatnya adalah masyarakat bangsa-bangsa yang sudah menegara. Adanya prinsip hidup bersama atau hidup berdampingan yang terwujud dalam bentuk : hubungan, kontak, relasi yang bersifat jalin-menjalin dan terus menerus. Adanya sejumlah negara saja, belum berarti atau belum menjamin adanya suatu masyarakat negera-negara tersebut, hidup secara terpisah dan terpencil satu sama lainnya, hal ini berarti bahwa antara bangsa atau negara yang satu dengan yang lainnya, harus ada hubungan, kontak, relasi satu sama lainnya yang bersifat jalin menjalin dan kontinu atau terus menerus. Adanya kepentingan atau tujuan bersama, adanya hubungan dan kontak yang bersifat jalin menjalin dan terus menerus, disebabkan kepentingan atau tujuan bersama, yang ingin dicapai atau dipenuhi masing-masing bangsa atau negara tersebut, Kepentingan dan tujuan bersama ini, hanya dapat tercipa dengan negara-negara lainnya.Kepentingan atau tujuan bersama yang dimaksudkan, sangat komplek dan bevariasi yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan. Adanya Hukum Pidana Internasional karena adanya masyarakat internasional sebagaimana adanya hukum karena adanya masyarakat. Masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis hukum pidana internasional dan sekaligus Hukum Pidana Internasional. Hukum Pidana Internasional pada hakekatnya merupakan suatu sistem hukum yang harus mempunyai substansi hukum berisikan materi-materi tindak pidana-tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana bagi setiap individu maupun negara yang melakukan tindak pidana yang telah ditetapkan dalam hukum pidana internasional.Untuk menjalankan substansi hukum tersebut, harus didukung dengan struktur hukum dalam menegakkan hukum pidana internasional materiil. Selain itu juga harus didukung oleh budaya hukum yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan kepatuhan masyarakat internasional terhadap apa yang terkandung dalam substansi hukum pidana internasional.Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan kebutuhan sejumoah negara-negara. Keadaan ini tentunya menciptakan saling ketergantungan diantara negara-negara. Dan untuk mengatasi serta mencegah ketergantungan antara negara-negara, meka negara yang satu perlu mengadakan hubungan, kontak pergaulan dengan sesama negara lain di dalam pelbagai kehidupan. Dengan adanya saling membutuhkan diantara negara yang satu dengan yang lainnya mengakibatkan tumbuhnya hubungan yang bersifat tetap, jalin menjalin dan berkesinambungan.Masyarakat internasional selalu dalam keadaan dinamis dan perlu mengadakan perubahan-perubahan. Perubahan pertama dan mendasar adalah perubahan pada peta bumi politik, yang terjadi terutama setelah Perang Dunia ke-II. Hal mana pada saat sebelumnya, masyarakat internasional dibagi dalam beberapa negara besar, berubah menjadi satu masyarakat bangsa-bangsa yang terdiri dari banyak sekali negara.Perkembangan kedua, mempunyai akibat dan pengaruh yang sangat besar bagi pelaku-pelaku tindak pidana yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknilogi, sehingga sangat mempengaruhi masyarakat internasional dan Hukum Pidana Internasional. Dengan memanfaatkan kemajuan sarana transportasi, telekomunikasi, sarana kimiawi dan sarana teknologi lainnya dalam rangka menghilangkan jejak, bukti dan lain sebagainya, sehingga pelaku tindak pidana tidak dapat dan sulit dilacak baik oleh hukum pidana nasional maupun Hukum Pidana Internasional.Perkembangan ketiga yaitu perubahan struktur organisasi masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara yang berdaulat. Dengan timbulnya organisasi-organisasi internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara. Dipihak lain, ada perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada individu-individu dalam hal-hal tertentu. Timbulnya organisasi-organisasi intrnasional dan kompetensi hukum kepada individu menujukkan mulai terlaksananya satu masyarakat internasional di dalam arti yang benar dan efektif didasarkan atas asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antara negara, sehingga terjelma Hukum Internasional, bila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh negara dan tidak efektifnya Hukum Pidana Nasional, maka sangat diperlukan Hukum Pidana Internasional yang efektif dalam penegakan Hukum Pidana Internsional.Berbicara Hukum Pidana Internasional, juga tidak terlepas dari sebuah sejarah panjang dari tindak pidana yang terjadi sejak era perkembangan masyarakat internasional, tradisional sampai dengan perkembangan era masyarakat modern. Sejarah dimulai sejak Abad 16 Masehi yang merupakan era Kerajaan Romawi dibawah Kaisar Justinianus, dimana dengan kekuatan undang-undang, Justinianus telah memberikan dukungan perdamaian ke seluruh Kerajaan Romawi termasuk jajahanya. Peraturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada sebab yang layak dan benar, diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku dan dilaksanakan dengan cara cara yang benar. Pengaturan tersebut berasal dari pengajaran hukum yang diberikan oleh ahli-ahli hukum seperti Cicero dan St Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasionalPada era Paska Perang Salib, perkembangan tindak pidana internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut, yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu, namun demikian perang tetap merupakan tindakan yang dipandang tidak layak dan masih dipersoalkan terutama dikalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu.Era Francisco de Vittoria 1480-1546, penjajahan disertai dengan penyebarluasan agama Kristen dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman telah berkecamuk terutama yang telah dilakukan oleh Kerajaan Spanyol terhadap penduduk pribumi Indian, pada masa itu munculah seorang professor theologia, Francisco de Vittoria yang memperingatkan kerajaan bahwa ancaman perang dan peperangan tidak dapat dibenakan dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan dan kemenangan yang bersifat pribadi sekalipun dengan alasan untuk self defence, maka kerugian atau kekerasan sedapat-dapatnya diperkecil, Pandangan dari Vittoria ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi perkembangan hukum hukum pidana internasional pada masa yang akan datangPerkembangan pesat tentang masalah perang di dalam sejarah hukum internasional terjadi pada abad 16-18 ketika penulis-penulis terkenal seperti, Alberto Gentili, Francisco Suarez, Samuel dan Emerich de Vattel telah membahas dan mencari dasar-dasar hukum suatu peperangan. Namun seorang tokoh yang terkenal pada masa itu adalah seorang ahli hukum Belanda, Hugo Grotius yang telah menulis dan menerbitkan sebuah treatise “ the Law of War and Peace in The Tree Books” pada tahun 1625Perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I, ternyata dalam praktek hukum Internasional tedak berhasil melaksanakan ketentuan pasal 227 yang menetapkan antara lain penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan perangPada masa 1920 telah tampak adanya upaya pembentukan mahkamah pidana internasional terutama setelah terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, upaya ini berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka antara lain Vespasien Pella, Megalos Ciloyanni dan Rafael. Dukungan atas upaya tersebut juga berdatangan dari perkumpulan masyarakat internationalEra tahun 1927 Liga bangsa-bangsa telah membuka era baru dalam sejarah hukum pidana internasional dengan menetapkan bahwa perang agresi atau a war of aggression merupakan internasional crime, bahkan pernyataan LBB tersebut merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang hukum pidana internasional. Namun demikian pada saat itu pembentukan suatu Mahkamah Internasional yang dapat menetapkan telah terjadinya pelanggaran atas kodifikasi tersebut masih belum secara serius diperbincagkan. Perang Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani di antara Negara anggota liga bangsa-bangsa. Pelanggaran pelanggaran tersebut adalah dalam bentuk kekejaman yang tiada taranya serta pelanggaran atas hukum perang yang tiada bandingnya oleh pihak tentara jerman dan sekutunya, kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untk mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional. Profesor Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan bahwa pembentukan mahkamah itu sangat penting untuk mengadili penjahat perang dan sekaligus membawa akibat penting terhadap perbaikan perbaikan di dalam hubungan internasional.Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia kedua dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya dikota Danzig litzkrieg, pada Tahun 1940, Hitle rmenaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia dan Perancis. Tahun tersebut merupakan tahun kemenagan NaziJerman. Dalam waktu yang bersamaan dengan perang dunia kedua, bahkan jauh sebelumnya, Hitle rtelah melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi hamper diseluruh daratan Eropa.Genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah holocaust. Secara harafiah ‘holocaust’ berart ideskripsi genosida yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas diEropa dan Afrika Utara selama perang dunia kedua oleh Nazi JermanPada tahun 1947 masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional diserahkan kepada Internasioanal law Commision, yang terdiri dari kelompok ahli hukum terkemuka dari seluruh Negara , yang dibentuk oleh PBB dan bertugas menyusun suatu kodifikasi hukum internasional, bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masayarakat internasional melalui PBB telah sepakat dan menempatkan kejahatan-kejahatan yang dilakaukan semasa peperangan sebagai kejahatan yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, kejahatan-kejahatan itu antara lain agresi, kejahatan perang, pembasmian etnis tertentu, pembajakan laut dll.Resolusi PBB, 21 November 1947, bahwa sampai dengan awal abad ke-20 hukum pidana internasional belum memasyarakat dikalangan pakar-pakar hukum di Negara yang menganut system hukum common law.Pengakuan secara internasional terhadap pentingnya internasional criminal law pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan oleh Sidang Umum Perserikatan bangsa-bangsa tanggal 21 November 1947, resolusi menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional. Era Tokyo Trial 1948 Tanggal 23 Desember 1948, berdasarkan keputusan pengadilan internasional di Tokyo, Jepang, tujuh orang pemimpin negara ini pada era Perang Dunia II, menjalani hukuman mati. Pengadilan di Jepang ini merupakan lanjutan dari pengadilan Nurenberg Jerman yang dilakukan untuk mengadili para penjahat perang. Sebanyak 25 orang pejabat Jepang diadili dan 18 di antaranya dijatuhi hukuman penjara. Hideki Toyo, Perdana Menteri Jepang pada era PD II adalah pejabat tertinggi yang diadili di pengadilan internasional Jepang itu dan dijatuhi hukuman mati.

Subjek dan Objek Hukum internasional

Berkenaan mengenai Subjek dan Objek Hukum internasional


Subyek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Namuan, seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan pelaku-pelaku subyek hokum internasional itu sendiri. Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah:


Negara
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
penduduk yang tetap, mempunyai wilayah (teritorial) tertentu; pemerintahan yang sah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.

Organisasi Internasional
Organisasi internasional mempunyai klasifikasi, yakni:

a.
Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;

b.
Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;

c.
Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.

Palang Merah Internasional
Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.

Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia.

Kelompok Pemberontak/Pembebasan
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional

Individu
Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, menyatakan individu adalah sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.

Perusahaan Multinasional (MNC)
Eksistensi MNC dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.

Subyek hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional atau setiap negara, badan hokum (internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan internasional.

Sedangkan objek hukum internasional adalah pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan atau dibahas dalam hukum internasional. Namun, kawasan geografis suatu Negara (difined territory) juga dapat dikatakan sebagai objek hukum internasional dikarenakan sifat objek hukum internasional hanya bias dikenai kewajiban tanpa bias menuntuk haknya. Objek hukum merupakan sesuatu yang dapat berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi suatu pokok hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum, biasanya dinamakan benda atau hak yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh subyek hukum.

Contoh-contoh objek hukum internasional adalah:

Hukum Internasional Hak Asasi Manusia
Hukum Internasional hak asasi manusia adalah semua norma hukum internasional yang ditunjukkan untuk menjamin perlindungan terhadap pribadi (individu)

Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional adalah semua norma hokum internasional yang bertujuan memberi perlindungan pada saat timbul konflik bersenjata bukan internasional, kepada anggota pasukan tempur yang tidak bias lagi menjalankan tugasnya lagi, atau orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran

Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan (massal)
Istilah ini dikeluakan oleh pengadilan Nurenberg untuk perbuatan kejam Nazi Jerman terhadap warga negaranya sendiri. Namun, dewasa ini genosida (pembunuhan massal dilatar belakangi kebencian terhadap etnis, suku tertentu) juga termasuk dalam hukum ini.

Subyek dan Objek hokum internasional dapat berubah. Seperti apa yang terjadi pada perang Serbia-Bosnia (perang Balkan), dimana Mahkamah Internasional (ICJ) akhirnya menjatuhkan hukuman secara individu terhadap petinggi militer Serbia karena dianggap sebagai orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap pembantaian kaum muslim Bosnia. Mantan petinggi militer Serbia yang diadili antara lain, Kepala Staff militer Serbia, Ljubisa Beara; Vujadin Popovic, pejabat militer yang bertanggung jawab atas pengerahan polisi militer, Ljubomir Borovcanon, Deputi Komandan Polisi Khusus Serbia; Vinko Pandurevic, Komandan Brigade yang melakukan serangan dan Drago Nikolic, Kepala Brigade Keamanan militer Serbia. Dari hal ini, saya dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan status subyek hukum internasional itu sendiri yaitu, perang ini melibatkan negara (Serbia), namun pada akhirnya mahkamah menjatuhkan hukuman terhadap individu.

Objek hukum internasional dapat berubah disebabkan dunia global dan internasional yang bersifat dinamis (selalu berubah). Sehingga tindak lanjut dari hukum internasional itu sendiri akan berubah mengikuti arus perkembangan zaman dan permasalahan baru yang akan timbul dalam hubungan internasional kedepannya. Seperti permasalahan yang terbaru saya baca di internet yakni kasus perompakan kapal-kapal laut di Somalia. Kasus ini menyebabkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi agar kejadian ini tidak terulang kembali.

Objek hukum internasional dapat hilang. Objek hukum internasional telah saya sebutkan tadi diatas bahwa wilayah geografis termasuk didalamnya. Dalam kaitan ini, saya mencoba menghubungkan dengan kepulauan yang berada di sebelah timur laut Australia. Pulau-pulau yang kebanyakan tak berpenghuni ini dijadikan Prancis (pulau ini dibawah kekuasaan Prancis) dijadikan sebagai ajang uji coba Nuklir mereka. Sehingga, dampak dari uji coba ini adalah hilangnya (tenggelam) pulau tersebut. Dalam hal lain, kasus perebutan pulau Malvinas/Falkland (Inggris-Argentina) juga dapat dijadikan referensi sebagai hilangnya objek internasional. Pulau Malvinas (penyebutan oleh orang Argentina dan Falkland oleh orang Inggris) adalah pada mulanya milik Argentina. Namun, Inggris mengklaim pulau tersebut sehingga menyebabkan tejadi perang dimana Argentina kalah dan harus merelakan “hilang” nya pulau tersebut dari peta geografis wilayah Argentina.

2. Keterkaitan antara hukum internasional dengan ilmu Hubungan Internasional

Terdapat relevansi yang sangat kuat antara Hubungan internasional dengan Hukum Internasional. Bahkan menurut saya pribadi Hukum Internasional dan ilmu hubungan internasional seperti pepatah “dua sisi mata uang”, dengan kata lain tidak dapat dipisahkan. Relevansinya adalah ada kaitan yang sangan konkret yakni suatu hal(termasuk negara dan individu) yang melintasi batas wilayah suatu negara yang ditandai dengan kerjasama-kerjasama internasional dan hal-hal lain seperti regionalisme ekonomi. Hubungan internasional di era modern ini lebih diwarnai dengan stabilitas dunia yang cukup baik. Meski tidak dapat pula dinafikan di beberapa belahan dunia masih terjadi berbagai konflik yang belum usai. Hukum internasional yang disengajakan sebagai pranata yang mengatur relasi antara satu subyek hukum internasional yang melibatkan banyak negara ikut andil dan ambil peran yang sangat vital bagi kemajuan dan perdamaian dunia saat ini. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum internasional.

Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional. Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri . Kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional. Oleh karena itu, hukum internasional harus senantiasa dikawal oleh semua Negara sehingga praktek hukum yang dilakukan oleh semua Negara di dunia ini berlandaskan pada keadilan dan kemanusiaan.

3. Masalah Hukum Internasional yang sulit saya pahami.

Bagaimana bila terjadi suatu peristiwa (terbunuh/diserang) terhadap orang-orang PBB dalam menjalankan tugasnya di negara yang berbeda pula?. Saya mengerucutkan dari banyak kasus dan memilih kasus pembunuhan yang terjadi terhadap Count Folke Bernadotte (seorang yang berasal dari negara Swedia dan bekerja sebagai pejabat sipil Internasional di PBB) oleh penduduk Israel di negara Israel itu sendiri. Pemahaman yang sulit saya dapatkan dari kasus ini adalah, bagaimana penyelesaian kasus ini dalam kacamata hukum internasional.

Setelah meneliti dan mencari jawabannya sendiri, saya menemukan kasus hukum ini diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ). Dari kasus tersebut, terdapat empat permasalahan hukum yang muncul :

1. Count Folke Bernadotte adalah pejabat sipil internasional yang bekerja untuk PBB

2. Count Folke Bernadotte adalah warga negara Swedia

3. Pembunuh Bernadotte, Yehoshua Cohen, adalah warga negara Israel

4. Pembunuhan terhadap Bernadotte terjadi di wilayah pengawasan Israel.

Berkenaan dengan kasus di atas, Sekjen PBB (pada masa itu)Trygve Lie mempersiapkan memorandum, dan disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Memorandum tersebut berisi 3 permasalahan pokok :

1. Apakah suatu negara mempunyai tanggung jawab terhadap PBB atas musibah atau kematian dari salah seorang pejabatnya?

2. Kebijaksanaan secara umum mengenai kerusakan dan usaha-usaha untuk mendapatkan ganti rugi

3. Cara-cara yang akan ditempuh untuk penyampaian dan penyelesaian mengenai tuntutan-tuntutan.

Setelah mendengarkan memorandum dari Sekjen PBB, Majelis Umum kemudian meminta pendapat dari ICJ, dengan mengajukan permasalahan hukum sebagai berikut :

1. Apakah PBB sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk dapat mengajukan gugatan terhadap pemerintah de jure maupun de facto untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh :

a. PBB;

b. Korban atau orang-orang yang menerima dampak dari kejadian yang menimpa korban.

2. Apabila pertanyaan 1(b) dapat diterima, apakah tindakan yang harus dilakukan PBB untuk mengembalikan hak Negara tempat korban menjadi warganya ?

Pada akhirnya, terhadap permasalahan hukum yang diajukan oleh Majelis Umum, ICJ memberikan jawaban sebagai berikut :

1. Untuk pertanyaan 1(a), ICJ secara mutlak sepakat bahwa PBB dapat melakukan hal tersebut

2. Untuk pertanyaan 1(b), ICJ memberikan pendapat dengan 11 suara melawan 4 bahwa PBB dapat mengajukan gugatan meskipun pemerintah yang diminta pertanggungjawabannya bukanlah anggota PBB

3. Untuk pertanyaan 2, ICJ memberikan pendapat dengan 10 suara melawan 5 bahwa apabila PBB membawa gugatan karena kerugian yang dialami pejabatnya, tindakan tersebut hanya dapat dilakukan apabila gugatannya didasarkan pada pelanggaran kewajiban kepada PBB.

Dengan adanya kasus ini, organisasi internasional yang ada di dunia mendapatkan penegasan mengenai status yuridiknya. Meskipun sebenarnya status yuridik dari organisasi internasional telah ada, namun sampai sebelum adanya kasus ini, masih belum ada kepastian hukum mengenai bisa atau tidaknya sebuah organisasi internasional untuk bisa berperkara sebagaimana layaknya subyek hukum internasional lainnya. ICJ telah membuat suatu terobosan hukum dengan mengeluarkan advisory opinion berkenaan dengan kasus ini.

hukum internasional

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
(i) negara dengan negara
(ii) negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.

hukum ekonomi syariah di indonesia

KITA semua sangat menyesalkan dua insiden amuk massa bernuansa SARA yang terjadi di Cikeusik, Banten dan Temanggung, Jawa Tengah, yang hanya berselang tiga hari. Ada yang menilai bahwa insiden ini terjadi, akibat pemerintah dan aparat keamanan lemah dalam melakukan antisipasi maupun pencegahan. Aparat intelijen juga dinilai kecolongan, karena tidak mampu melakukan upaya antisipasi dan cegah dini. Semua pihak tampaknya berlomba memberikan komentar dan bahkan ada kecenderungan untuk saling menyalahkan.
Terlepas dari kemungkinan kelemahan dan kurangsigapnya aparat keamanan dalam mencegah insiden tersebut, barangkali benar apa yang disampaikan Pimpinan TNI AD Jenderal George Toisutta bahwa terjadinya aksi kerusuhan massa di Serang dan Temanggung karena tidak ditaatinya aturan oleh masyarakat. Jika kita cermati, salah satu penyebab terjadinya aksi kekerasan dan amuk massa tersebut memang akibat tidak ditaatinya aturan oleh masyarakat. Masyarakat cenderung mengabaikan aturan yang berlaku, menolak imbauan dan ajakan aparat keamanan, bahkan sebaliknya justru melawan aparat dan hukum. Ketertiban dan keamanan di masyarakat mustahil dapat terwujud bila hukum diabaikan. Kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum tidak saja berpengaruh terhadap ketertiban dan keadilan, tetapi juga berperan membentuk kultur (budaya) taat hukum.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia kita selalu menjumpai yang namanya norma-norma yang telah hidup dan berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia seperti norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, norma adat istiadat dan norma hukum. Setiap norma yang telah hidup dan berakar dalam budaya kita ini mempunyai sanksi-sanksi yang diberlakukan. Norma hukum merupakan salah satu norma yang jelas dan memaksa di mana masyarakat mau tidak mau harus mengikuti setiap peraturan yang telah dikeluarkan oleh badan yang berwenang. Drs. Paiman Jati Padang, Pasar Minggu paiman@yahoo.comThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it
0