Minggu, 29 Mei 2011

Tak Mungkinnya Norma Hukum Antipornografi

Seorang feminis post-strukturalis Inggris, Carol Smart (Feminism and the Power of Law, 1989), menulis, norma hukum antipornografi hanya berfungsi bila secara jelas pornografi bisa didefinisikan. Saya tak hanya menyetujui Smart, tetapi juga menyarankan penolak RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) tentang perlunya mengaktifkan saja UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, dan KUHP. Tetapi, inilah paradoks itu: bila tujuan RUU APP antara lain melindungi akhlak dan moral masyarakat (Pasal 3b), maka bisakah dipastikan siapa pun yang melihat gambar organ dan hubungan seks pada buku ilmiah atau melihat orang berpakaian renang di kolam renang tidak akan runtuh akhlak-moralnya? Feminisme dan pornografi Menurut Smart, para feminis peduli pada pornografi karena menganggap seks dan seksualitas sebagai situs pertarungan identitas jender dan orientasi seksual. Seks dan seksualitas tak alamiah. Bagi mereka pornografi adalah erotisasi dominasi kuasa pria atas perempuan. Pornografi dibuat agar dominasi itu terkesan alamiah, sealamiah seksualitas anggapan masyarakat. Namun, menurut Smart, isu pornografi telah memunculkan dua kelompok feminis yang bertolak belakang, yaitu yang menganggap pornografi—sebagai—kekerasan dan pornografi—sebagai—representasi. Bisa jadi Serat Centhini—yang antara lain mengisahkan persetubuhan Amongraga dan Tambangraras—dianggap puitis pada tempat dan waktu tertentu, tetapi porno pada tempat dan waktu yang lain. Bahkan kini banyak perempuan "simpanan" pejabat yang merasa tak digubris lagi bersedia difoto seronok dan dibayar Rp 150.000-Rp 500.000 oleh wartawan tabloid syur, asal di tabloid itu juga dikisahkan relasi mereka dengan pria hidung belang itu (lihat: Anak Perawan di Sarang Tabloid, Tempo, 20-26 Maret 2006). Tetapi, tak berarti tak ada lagi grafis yang merendahkan seksualitas perempuan dan anak. Saran Smart, feminis mengatasinya dalam perdebatan, bukan tuntutan hukum. Namun, saya kira, grafis-grafis seperti itu dapat ditindak berdasarkan UU Penyiaran, UU Pengesahan Penghapusan Berbagai Bentuk Kekerasan terhadap Wanita, UU Perlindungan Anak atau KUHP. Namun, itu istilah cabul, susila, atau kesopanan yang ada di dalamnya perlu direvisi agar tak berujung paradoks dan terhapusnya kemajemukan "seksgrafi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar