JAKARTA-Wacana untuk kembali menghidupkan TAP MPR dalam hirarki norma hukum nasional mulai bergulir di parlemen. Opsi tersebut merupakan sikap resmi Fraksi PDIP. Mereka akan mengusulkannya melalui revisi UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -Undangan.
"Ada sejumlah dasar pertimbangan kebutuhan ketatanegaraan yang membuat PDIP perlu memperjuangkan itu," kata Wasekjen DPP PDIP Achmad Basarah di Jakarta, kemarin (12/2). Dia menyampaikan dalam UU No. 10/ 2004, keberadaan TAP MPR sudah tidak ada atau tidak diakui lagi. Pasal 7 UU itu mengatur bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari UUD 1945, UU, Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Perda.
Padahal, ungkap Basarah, dalam TAP MPR No. 1/2003 tentang Peninjauan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak tahun 1960 sampai dengan 2002 diputuskan ada sejumlah TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku. Jumlahnya cukup banyak, yakni 12 TAP MPRS/MPR. Salahsatunya TAP Nomor XXV/ MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Jadi, dari aspek legalitas ada dualisme status hukum terhadap TAP MPR tersebut," katanya. Dia melanjutkan dari segi substansi, dengn dihapuskannya TAP MPR dari hierarki norma hukum nasiona] muncul masalah yang cukup serius. Yakni, terjadinya pembiasan saat Pancasila dan UUD 1945 dijabarkan ke dalam materi pasal-pasal suatu UU.
"Terjadi missing link. Akibatnya saat ini banyak UU sampi Perda yang materi muatan hukumnya bertentangan dengan Pancasila sebagai norma dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis kita," jelas anggota Komisi HJ DPR RI, itu. Basarah lantas mencontohkan hilangnya kewenangan MPR untuk m-embuat Ketetepan MPR tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Rencana Pembangunan Semesta telah membuat tolok ukur pembangunan nasional menjadi tidak jelas. Saat ini, tolok ukur pembangunan nasional hanya didasarkan pada janji presiden saat kampanye, (pri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar